Memang surat pendek ini penuh makna dan memposisikan kaum teraniaya, tidak berdaya (dari segi harta) untuk mendapatkan tempat dan perhatian yang sungguh-sungguh dari ummat yang mengaku beragama. Di mata surat ini, pendusta agama adalah orang yang menghardik anak yatim dan tidak mengajurkan memberi makan orang miskin. Pernyataan Allah yang begitu tegasnya untuk menegasi bahwa kekurangperhatian pada orang-orang “tak berdaya” dan membiarkan orang miskin berada dalam kemiskinan adalah PENDUSTA AGAMA. Yap… pendusta. Maka kecelakaanlah buat orang-orang yang shalat, yang lalai dalam shalatnya, berbuat riya dan enggan menolong dengan barang yang berguna.
Beragama dalam surah Al-Ma’un tidak selau identik dengan kesalehan dan ketakwaan. Beragama dan melakukan ritual-ritual agama tidak selalu menjadikan seseorang bisa dipercaya dan membawa amanah (hlm 3). Wacana besar yang dibawa surah ini adalah membalik semua itu dengan mengatakan bahwa kalangan orang beragama itu “ada pendusta agama”. Orang yang haji dan shalatnya rajinpun bisa jadi adalah pendusta agama. Simbol agama dan kesalehan vertikal tak selamanya sepadan atau segaris dengan apa yang ditunjukkan oleh agama itu sendiri. Bahkan bisa jadi kesalehan ritual agama yang dilakukannya merupakan manipulasi semata untuk mengkhianati agama .
Surah Al-Ma’un ini juga membawa pesan : betapa pentingnya keterlibatan sosial dan pembelaan sosial kepada masyarakat miskin, minoritas, dan pentingya membela ketidakadilan dan menjustifikasi gerakan-gerakan sosial berbasiskan santri dan kitab kuning (hlm 4). Jelas sekali bahwa surat ini memberikan petunjuk bahwa kesalehan ritual tidak menjadi bermakna tanpa kesalehan sosial.
0 komentar:
Posting Komentar